Monday, May 14, 2018

GAYA KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI SOEHARTO



GAYA KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI SOEHARTO

      Ø  Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan soeharto termasuk gaya kepemimpina otokratis karena segala sesuatu keputusan berada di pusat , tanpa memperhatikan yang ada dibawahnya. Pada masa pemerintahan soeharto , rakyat tidak bebas dalam bersuara, kebebasan rakyat di batasi dengan banyak aturan dalam berorganisasi pun di atur oleh pemerintah secara nyata. Ciri- cirri pada masa kepemimpinan soeharto yaitu cenderung memperlakuakan bawahannya sama dengan alat lain dalam organisasi  seperti mesin dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
 Pada masa pemerintahan soeharto  Media Massa tidak memiliki kebebasan , mereka terikat oleh aturan yang ketat. Sebenarnya gaya kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpinan yang tepat pada massa awal pemerintahannya kareana pada saat itu tingkat pergolakan dan situasi yang tidak menentu juga tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah namun dirasa pada awal tahun 1980-an gaya otokratis soeharto ini kurang tepat karena keadaan di Indonesia yang telah banyak berubah. Masyarakat Indonesia  semakin cerdas dan semakin paham hakikat Negara demokratis. Dengan sendirinya gaya kepemimpinan soeharto bertolak dengan masyakarakat. Untuk tetap memperthankan kekuasaannya soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.

Terlepas dari hal diatas, gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
1.      Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
2.      Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
3.      Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

     Ø  Gaya Komunikasi
Gaya komunikasi Soeharto tergolong High context, : banyak kepura-puraan (impression management), tidak to the point dan sangat santun. Komunikasi Soeharto penuh simbol, tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal communication. Pemilihan kata dalam komunikasinya halus, samar-samar, suaranya tidak keras, tapi bobotnya terasa.  Sehingga orang yang mendengarkannya diharap dapat mengartikan sendiri  apa yang diucapkan.  Kalau Pak Harto tidak suka, dia tidak berkomentar namun akan bertindak. Dan ada bahasa-bahasa  isyarat yang harus kita tahu sendiri bahwa Pak Harto tidak berkenan. Dan apabila Pak Harto memerintah stafnya tidak pernah secara jelas diutarakan dan semua tergantung penafsiran sendiri yang mendengarnya. 

0 comments

Post a Comment